Jumat, 15 Mei 2009

Ceritera tentang monyet, tikus, kelelawar, dan tupai bloon

 

Entah sejak kapan para monyet itu mulai berdatangan ke  kampung itu. Yang jelas dalam beberapa tahun terakhir, di suatu kampung bernama Ibotupe, di negeri Serolf Rumit bermukim segerombolan monyet. Terkadang para monyet itu pun bisa menjelma menjadi tikus. Di antara mereka ada juga yang bisa menjelma menjadi ular dan anjing hitam. Terkadang mereka juga dapat menjelma menjadi tupai-tupai yang pandai meloncat ke sana ke mari. Selagi menjadi monyet mereka suka merampas apa-apa yang menjadi hak manusia.

Kalau berada di pasar, para monyet itu cepat berubah menjadi tikus-tikus agar lebih mudah menggerogoti apa-apa yang dapat digerodoti. Salah satu barang yang sering mereka gerogoti ialah uang iuran pasar. Jika ada proyek pembangunan fisik di kampung itu, mereka pun cepat berubah rupa menjadi tikus-tikus agar lebih gampang beroperasi di antara kayu-kayu, lembaran-lembaran seng, dan sak-sak semen. Dan ketika tiba musim raskin, tikus-tikus itu pun berpesta pora di lumbung raskin.

Para monyet itu tidak hanya lapar dan haus akan makanan dan minuman, tetapi juga haus darah. Celakanya, yang mereka cari bukan darah binatang tetapi darah manusia. Maklum, darah manusia adalah salah satu minuman kesayangan si kepala monyet. Bagi mereka, darah manusia itu halal untuk diminum. Soalnya, mereka memandang manusia seperti manusia memandang binatang. Sehingga, kapan saja diperlukan, mereka bisa memangsa seorang manusia untuk dihisap darahnya.

Pada suatu malam, berdasarkan perintah si kepala, para monyet itu berubah menjadi vampire (kelelawar). Dengan lincah mereka terbang menuju ke suatu tempat. Rombongan vampire itu dikomandani oleh kepala mereka. Di tempat itu mereka menunggu seorang manusia yang akan melintas pulang ke kampung halamannya.

Dalam gelap malam para vampire itu menunggu dan menunggu. Sambil menunggu mereka mengirim dua rekan mereka untuk memantau posisi calon korban mereka itu. Oh, dia ternyata ada dan pasti akan melintas di tempat mereka sedang berjaga. Begitu informasi yang mereka peroleh dari dua rekan mereka yang melakukan pemantauan.

Benar, akhirnya manusia itu muncul juga di hadapan mereka. Begitu melihat calon korban mereka itu muncul, dengan cekatan mereka pun keluar dari tempat persembunyian di pinggir jalan, lalu meyergapnya. Beramai-ramai mereka menyedot darah manusia itu hingga habis tuntas. Maka matilah anak manusia itu di tempat itu juga. Setelah itu para vampire itu pulang sambil bersorak sorai ke kampung mereka. Mulut dan tangan mereka masih berlumuran darah ketika mereka tiba di rumah kepala mereka. Sepanjang malam itu bau darah korban mereka itu menyebar ke seluruh pelosok kampung itu. Bau darah dari mulut, tangan, dan badan mereka mengundang gonggongan anjing piaraan sesesorang pada tengah malam itu.

Sekembali dari operasi penghisapan darah, mereka kembali menjadi monyet. Pada malam itu para monyet itu berkumpul di rumah kepala monyet. Di situ mereka berpesta, pesta darah bercampur anggur. Pesta itu berlangsung hingga pagi. Apalagi monyet-monyet betina pun menemani mereka untuk berpesta pora.

Pagi-pagi hari berikutnya, si kepala monyet dan beberapa temannya meluncur ke tempat operasi mereka pada malam sebelumnya. Karena hari sudah terang, maka mereka memutuskan untuk tetap tampil sebagai monyet. Mereka bermaksud mencek seperti apa nasib seorang manusia, kalau darahnya habis disedot. Di sana mereka menemukan, bahwa manusia itu sungguh-sungguh sudah tak bernyawa lagi. Dan mereka pun membiarkannya tergeletak di situ.

Setelah menyaksikan dengan mata mereka sendiri nasib korban mereka itu, mereka pun kembali sambil bekata, “Darah satu orang sudah kita nikmati, darah empat orang lagi yang akan kita nikmati.” Sejak pagi itu, mereka membayangkan kenikmatan demi kenikmatan darah manusia yang akan mereka minum pada musim-musim pesta mendatang. 

Tetapi kematian manusia itu segera menimbulkan tanda tanya besar di kalangan masyarakat manusia di kampungnya. Setelah diusut, akhirnya diketahui bahwa yang menyebabkan dia meninggal ialah karena darahnya disedot habis oleh serombongan kelelawar pada malam hari itu. Dan mereka juga akhirnya tahu juga bahwa para vampire itu adalah  jelmaan dari monyet-monyet yang tinggal bertetangga dengan mereka. Mereka juga mengetahui monyet-monyet mana saja yang pada malam itu menjelma menjadi vampire yang menghisap darah manusia itu.

Setelah mengetahui bahwa perbuatan jahat mereka itu diketahui oleh masyarakat manusia, para monyet itu bertekad untuk menjelma menjadi tupai. Mereka berharap, dengan menjadi tupai mereka bisa meloncat dari pohon ke pohon, dari hutan ke hutan, sehingga bisa lolos dari kejaran manusia. Tetapi para manusia tidak mau kehilangan akal. Mereka tidak mau dibodohi oleh tupai-tupai itu.

Empat ekor tupai akhirnya jatuh dari pohon dan berhasil ditangkap, lalu dikerangkeng. Tupai-tupai lainnya masih coba berusaha meloncat ke sana ke mari. Tetapi mereka pun akan jatuh juga. Karena yang namanya tupai itu sudah ditakdirkan begini, “Sepandai-pandai tupai meloncat, sekali waktu akan terjatuh juga.” Apalagi mereka itu adalah tupai-tupai bloon.

Manusia terus memburu tupai-tupai bloon itu hingga satu per satu dari gerombolan mereka akan ditangkap dan dikerangkeng. Seandainya mereka memilih menjadi monyet, atau tikus, atau kelelawar pun mereka itu mudah ditangkap satu per satu, karena mereka adalah binatang-binatang yang bloon. ***