Senin, 20 September 2010

Email Terakhir dari Kediri

 

Terhitung dari bulan April 2009 hingga Agustus 2010, saya menerima 38 email (surat elektronik) dari kota Kediri, Jawa Timur, dari Mamung saya yang sudah menjadi almarhum. Setelah saya menerima 18 emailnya, saya lalu membuka satu alamat khusus untuk menampung surat-surat elektronik dari Kediri.

Dari emailnya saya mengetahui bahwa Mamung saya itu pengunjung setia eputobi.net dan weblog atamaran. Dengan tekun dia mengikuti polemik sejarah Lewoingu yang berkembang di dunia maya. Dan dia pun mempunyai tanggapan berdasarkan pengetahuannya tentang sejarah Lewoingu.

Karena tertarik akan khasanah sejarah Lewoingu yang dimilikinya, saya lalu berusaha mencari tahu dari mana dia memperoleh pengetahuan itu. Hal ini saya lakukan di luar pengetahuan Mamung saya itu. Dari berbagai sumber yang berhasil saya hubungi, saya memperoleh informasi bahwa sejak masih muda, Mamung saya itu sudah berusaha belajar sejarah Lewoingu dari sumber-sumber yang dianggapnya memiliki kompetensi real dalam menguasai sejarah lisan Lewoingu.

Dengan teliti dia membaca kata demi kata yang muncul dalam polemik sejarah Lewoingu. Lalu dia pun berusaha menilainya secara objektif, dalam artian sesuai dengan apa yang ditulis dalam polemik tersebut dan sesuai dengan informasi yang dia peroleh dari sumber-sumbernya. Dengan mudah dia dapat menilai tentang masuk akal atau tidaknya narasi historis yang dipaparkan oleh orang-orang yang terlibat dalam polemik. Hal ini dia lakukan tanpa ada pretensi untuk menunjukkan kelebihan pengetahuannya tentang sejarah Lewoingu. Dia menampilkan diri sebagai orang yang ingin terus belajar dan belajar.

Dalam menyikapi tragedi Blou, dia secara tegas melawan kejahatan. Secara tegas dia membela kebenaran. Baginya, seluruh dimensi kebenaran dalam tragedi Blou perlu diungkapkan. Dan siapa pun pelaku pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran harus diproses secara hukum. Dalam upayanya membela kebenaran dan keadilan, dia merasa prihatin dengan suara-suara dari orang-orang yang tidak mengetahui seluk-beluk tentang tragedi Blou tetapi nyaring bunyinya.

Setelah cukup lama tidak ada kabar berita, pada tanggal 6 Agustus 2010 yang lalu, saya menerima lagi email dari Kediri. Tetapi email itu baru saya baca pada hari Rabu 25 Agustus 2010. Ya, saya termasuk orang yang memiliki beberapa alamat email, tetapi tidak setiap hari membukanya. Ada alamat email saya yang jarang saya buka dan cek isinya.

Email dari Kediri tanggal 6 Agustus 2010 itu membuat saya mampir ke eputobi.net, setelah sekitar enam bulan lamanya saya tak berkunjung ke sana. Di buku tamu eputobi.net, saya antara lain menemukan oceh-ocehan anak dari Laurensius Lawe Kelen, ocehan-ocehan yang tidak didasarkan pada pengetahuan yang benar tentang apa yang terjadi di Blou dan di kampung Eputobi dalam beberapa tahun terakhir. Di situ saya juga menemukan tanggapan-tanggapan dari Kediri dan Madiun terhadap ocehan-ocehan tersebut. Bagi saya, ocehan-ocehan tersebut adalah ekspresi dari rasa takut yang sedang menjalar ke setiap sanubari dari anggota-anggota keluarga yang bersangkutan. Bukankah kejahatan itu mengundang kekejaman dan kebinasaan bagi pelakunya? 

Email dari Kediri tanggal 6 Agustus 2010 itu sudah saya balas. Tetapi saya tidak tahu, apakah Mamung saya itu sempat membacanya atau tidak. Setelah menerima kabar duka tentang kepergiannya, saya pun menyadari bahwa yang datang pada tanggal 6 Agustus 2010 itu adalah email terakhir dari Kediri. ***