Sabtu, 11 September 2010

Ketidakjujuran dan Kebinasaan

 

Setelah mengetahui apa yang terjadi di kampung Eputobi selama beberapa tahun terakhir, seorang rekan dari luar Lewoingu menyarankan perlunya doa bagi para pelaku pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran. Soalnya, mereka itu berada dalam jalan yang gelap. Sehingga mereka pun tidak tahu lagi mana yang baik dan mana yang jahat. Mereka mengira bahwa pembunuhan yang mereka lakukan itu merupakan suatu perbuatan yang baik. Mereka juga mengira bahwa tidak mengakui perbuatan jahat yang mereka lakukan itu juga perbuatan yang baik.

Di kampung Eputobi, orang-orang yang terlibat dalam peristiwa pembunuhan tersebut sering menghadiri ibadat sabda atau perayaan misa. Pada waktu komuni, mereka pun maju untuk menerima komuni. Dalam momen semacam itu mereka menunjukkan perilaku yang sangat alim. Perilaku semacam itu sering mengundang tanda tanya, “Apakah mereka itu sudah bertobat?” “Apakah mereka itu sudah menerima sakramen tobat?”

Secara bercanda, ada saja warga “jabar” di kampung Eputobi berkomentar, “Kalian mau mengaku dosa atau tidak mengaku dosa, bagi kami, dosa kalian sudah jelas.” Dosa mereka ialah melakukan pembunuhan, lalu tidak mau mengakui di hadapan publik perbuatan jahat yang mereka lakukan di Blou itu. Bahkan secara mati-matian mereka berusaha bertahan dalam ketidakjujuran. Selama beberapa tahun terakhir, mereka berhasil membangun suatu lingkaran keluarga besar yang layak disebut sebagai keluarga kriminal. Tugas utama dari masing-masing anggota keluarga tersebut adalah menjaga agar kasus kejahatan yang mereka lakukan di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007 itu tidak terungkap. Untuk itu mereka berusaha memutarbalikkan fakta-fakta yang berkaitan dengan kejahatan tersebut. Padahal fakta-fakta tentang perbuatan jahat mereka itu sudah lama terungkap. (Apa yang disuarakan oleh salah seorang keponakan dari Mikhael Torangama Kelen di buku tamu www.eputobi.net merupakan bagian dari upaya tersebut. Tampak jelas bahwa anak muda itu sudah berhasil disesatkan oleh senior-seniornya. Maka dia pun berusaha menyesatkan pengunjung situs tersebut). 

Persoalan yang menyebabkan belum diajukannya para pelaku pembunuhan tersebut ke pengadilan adalah ketidakseriusan oknum-oknum aparat penegak hukum setempat untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Sebagaimana selama ini terjadi di negeri ini, di situ pun kebenaran dan keadilan dapat dipermainkan sesuka hati mereka. Aktor utama di balik upaya penyuapan terhadap penyidik masih berada di sana. Di kalangan penjahat Eputobi, dia menjadi salah satu tokoh idola. Tokoh utama dari kubu penjahat, yang berusaha bekerja sama dengan oknum-oknum polisi nakal untuk merekayasa kasus pembunuhan tersebut menjadi kasus kecelakaan lalu lintas pun masih berada di sana. Di antara oknum-oknum polisi nakal yang kooperatif dengan para penjahat yang bersangkutan untuk mengkriminalisasi keluarga korban pun ada yang masih bercokol di sana. Pernah mereka memberikan alasan untuk membenarkan diri. Selama ini mereka berperan sebagai bemper ketidakjujuran para penjahat Eputobi itu.

Apa dampak dari ketidakjujuran yang terus mereka pertahankan itu? Apakah ketidakjujuran mereka itu akan berdampak pada kebinasaan yang akan menimpa mereka? Pertanyaan  semacam ini tidak mudah dijawab. Di dalam kenyataan, tidak ada hukum yang menjelaskan kepada kita tentang kaitan tak terelakkan antara ketidakjujuran dan kebinasaan. Ada saja orang yang tidak jujur, tetapi tidak mengalami kebinasaan. Ada pula orang jujur yang ditimpa musibah yang mengerikan. Tetapi ada pula orang yang tidak jujur yang ditimpa malapetaka yang membinasakan hidupnya secara mengerikan.

Menyaksikan kebiadaban besar yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya, ada saja orang yang tergoda untuk berharap agar orang-orang jahat itu ditimpa kebinasaan besar agar yang lain-lain pada kapok lalu mau berterus terang. Melalui ritus adat tertentu, kebinasaan dimaksud dapat diprogramkan bagi mereka yang berbuat jahat tetapi tidak mau mengakui perbuatan jahat mereka. Dasar dari penyelenggaraan ritus adat tersebut adalah kebenaran. Ritus adat yang diselenggarakan untuk menentang kebenaran menjadi bumerang yang memangsa orang-orang dari pihak penyelenggara. Dan kiranya itu yang selama ini terjadi dengan kubu para penjahat Eputobi itu. Gara-gara menyumpahi orang-orang yang tidak bersalah, orang-orang mereka sendiri jatuh bertumbangan. Itulah formula yang berlaku dalam kehidupan masyarakat setempat.

Bagi kami, ritus adat yang diprogramkan untuk membinasakan para penjahat yang tidak jujur itu tak perlu diselenggarakan, karena telah muncul tanda-tanda alam bahwa akan terjadi kebinasaan bagi orang-orang yang menumpahkan darah orang yang tidak bersalah itu. Tanpa ritus adat termaksud pun, para penjahat yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran itu dapat mengalami kebinasaan yang mengerikan. Sejarah pun sudah berulang kali menyuguhkan ceritera-ceritera tentang nasib tragis yang dialami oleh penjahat-penjahat tertentu yang tidak mau mengakui secara terus terang perbuatan jahat yang mereka lakukan. Sekian tahun lalu, Us Mukin yang pada waktu itu menjadi kepala desa Wolo dibunuh ketika dia dan seorang rekannya sedang mengendarai sepeda motor. Rekan seperjalanan Us Mukin menderita luka parah. Pelaku pembunuhan tersebut tidak pernah mengakui perbuatan jahatnya. Polisi setempat pun tidak mengusut kasus pembunuhan tersebut, sehingga tidak terungkap ke publik siapa pembunuh Us Mukin. Tetapi arwah Us Mukin sendiri menuturkan siapa orang yang membunuhnya dan siapa pula orang yang berada di balik peristiwa pembunuhan tersebut. Di kemudian hari, orang-orang yang membunuhnya mengalami kematian secara mengerikan. Akhir hidup dalam keadaan mengenaskan pun dialami oleh Bei Kelen dan Keba Kelen (bapak-bapak kecil dari Mikhael Torangama Kelen) yang membunuh dua anggota suku Lewolein di Riang Duli empat puluh tahun lalu. Pernah darah mereka nyaris ditumpah-ruahkan secara sadis. Tetapi karena berlindung di rumah Ata Maran, maka nyawa mereka dapat diselamatkan.

Kebiadaban yang diperlihatkan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007 sungguh besar. Dan sungguh besar pula kebiadaban yang diperlihatkan oleh mereka yang membela kejahatan tersebut. Karena merasa muak dengan segala macam kebiadaban tersebut, ada saja orang yang berharap agar di antara pelaku kejahatan tersebut ada yang ditimpa kebinasaan mengerikan, biar yang lain-lain mau berterus terang. Tetapi adalah lebih baik kalau kita berharap agar jangan satu pun dari mereka yang melakukan kejahatan itu diambil dari kehidupan ini sebelum mereka mempertanggung jawabkan perbuatan jahat mereka di hadapan hukum. Lain ceritera, jika hukum di negara ini diperlemah sedemikian rupa oleh oknum-oknum nakal, sehingga pada akhirnya gagal menjadi sarana yang efektif untuk menegakkan kebenaran dan keadilan berkenaan dengan terjadinya peristiwa pembunuhan tersebut. ***