Minggu, 05 September 2010

Siapa Lagi yang Akan Kalian Bunuh?

 

Pertanyaan tersebut diberondongkan langsung oleh seorang tokoh terkemuka kepada Mikhael Torangama Kelen dan beberapa pendukungnya sembilan hari lalu di kampung Eputobi. Pada malam itu, nama si kepala komplotan pembunuh berdarah dingin itu disebut dengan sangat jelas di muka yang bersangkutan sendiri. Itu merupakan suatu tantangan real bagi dia yang memimpin aksi pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007.

Meskipun diberondong dengan pertanyaan semacam itu, Mikhael Torangama Kelen dan orang-orang lain di sekitarnya hanya duduk merunduk tanpa suara. Sikap diam semacam itu bukan menunjukkan kelebihan, melainkan ketakberdayaan dalam menghadapi fakta yang belakangan ini berani disuarakan secara lebih terbuka. Stamina mental para pelaku pembunuhan tersebut tampak merosot tajam setelah berbagai upaya mereka untuk menutup perbuatan jahat mereka mengalami kegagalan. Upaya mereka menggunakan ilmu setan untuk menggoalkan maksud mereka untuk menghindari diri dari tanggung jawab hukum pun mengalami kegagalan. Mungkin uang yang masih dapat mereka andalkan. Tetapi cara itu pun hanya berhasil menunda proses hukum saja. Metode semacam itu tidak akan berhasil menggagalkan penindakan hukum terhadap para pelaku pembunuhan tersebut.

Penundaan proses hukum seperti terjadi selama ini tidak menguntungkan para tersangka dan rekan-rekan mereka yang juga terlibat dalam peristiwa pembunuhan tersebut. Dengan terus mempertahankan ketidakjujuran mereka akan menuai dampak buruk yang lebih mengerikan ketimbang yang dapat mereka bayangkan selama ini. Karena, seperti apa pun perkembangan penanganan perkara kejahatan itu ke depan, kejahatan yang mereka lakukan secara berjamaah itu tidak akan dibiarkan untuk tidak diberantas. 

Bahwa hingga kini mereka masih bebas berkeliaran di masyarakat, itu karena proses hukum memang dapat dibengkak-bengkokkan sesuka hati oknum-oknum penegak hukum tertentu. Sudah menjadi rahasia umum di negeri ini macam udang di balik upaya-upaya yang ditempuh oleh oknum-oknum penegak hukum tertentu untuk menutupi atau paling kurang untuk menghambat kelancaran proses hukum atas suatu perkara kejahatan. Macam udang di balik terkatung-katungnya proses hukum atas kasus pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran pun jelas. Udang yang satu itulah yang membuat Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya merasa “nyaman” dengan kebohongan-kebohongan mereka. Mereka mengira dengan udang yang satu itu mereka berhasil menggagalkan seluruh proses hukum atas kejahatan yang mereka perbuat.

Tidak. Meskipun sejumlah oknum aparatur penegak hukum, yang nakal, berusaha mengganjal proses hukum atas perkara kejahatan tersebut, masih terbuka ruang yang luas bagi penegakan hukum. Apalagi musim kini mulai berganti, terutama ketika di sana sini muncul keberanian yang lebih signifikan di kalangan tertentu untuk ikut menegakkan kebenaran dan keadilan di tengah kehidupan masyarakat Lewoingu. Tekad untuk membela dan menutup kejahatan tersebut hanya terdapat dalam diri para pelaku dan antek-antek mereka, juga dalam diri oknum-oknum penegak hukum yang nakal. Di luar kelompok tersebut terdapat orang-orang yang takut menegakkan kebenaran dan keadilan karena alasan-alasan tertentu.

Tetapi selama penanganan kasus pembunuhan tersebut terkatung-katung, perilaku dan gerak gerik para penjahat Eputobi itu perlu terus diwaspadai. Mengapa? Sebelum pertanyaan tersebut diberondongkan secara jelas dan tegas ke muka Mikhael Torangama Kelen beberapa waktu lalu, tiga orang dari kalangan penjahat itu sendiri mengatakan secara terang dalam kesempatan yang berbeda bahwa “Satu sudah meninggal, empat orang lagi akan menyusul.” Nama keempat orang yang dikatakan akan menyusul itu pun disebut dengan jelas, yaitu Yos Kehuler, Sis Tukan, Dere Hayon, dan Pius Koten. Belum terhitung ancaman-ancaman yang pernah ditujukan terhadap keluarga korban.

Fakta-fakta di lapangan membenarkan adanya rencana jahat tersebut. Maka pertanyaan tertera di atas menjadi penting untuk diperhatikan, termasuk oleh para pegiat yang berusaha mempromosikan kesalehan-kesalehan palsu bagi masyarakat Eputobi. ***