Sabtu, 25 September 2010

Seandainya Tersangka-tersangka Itu Kooperatif

 

Dengan penuh semangat, seorang oknum polisi pernah menilai bahwa pihak tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran lebih kooperatif dengannya ketimbang pihak keluarga korban. Lalu dia juga berceritera bahwa dia pun sudah menemui “orang pintar” untuk mencari tahu siapa pelaku pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran, tetapi hasilnya tidak ada. Dia menyebut dari mana asal “orang pintar itu.” Dan, katanya, dia pun mengeluarkan banyak biaya untuk urusan tersebut.

Penilaian oknum polisi tertera di atas benar dalam arti bahwa terjalin kerja sama yang yang rapih di antara pihak-pihak yang bersangkutan untuk meloloskan Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya dari sangkaan sebagai pelaku kejahatan di Blou. Tetapi penggunaan kata kooperatif dalam arti tersebut jelas bertentangan dengan upaya penegakan kebenaran dan keadilan hukum yang dilakukan oleh Polri. Dalam upaya penegakan kebenaran dan keadilan hukum, seorang tersangka dikatakan kooperatif dengan polisi, jika dia mau mengakui secara terus terang, di hadapan polisi penyidik, perbuatan kriminal yang dilakukannya. Jika perbuatan kriminal termaksud dilakukan bersama orang lain, maka dia pun harus mengatakan secara terus terang siapa saja orang lain yang ikut melakukannya. Dia juga perlu menuturkan secara jelas, kapan, di mana, dan bagaimana kejahatan termaksud mereka lakukan. Dalam arti itu dia bekerjasama dengan Polri demi kelancaran proses hukum agar dapat ditegakan kebenaran dan keadilan.

Seandainya Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya kooperatif dengan polisi, proses hukum atas mereka tidak perlu berlarut-larut, tidak perlu bertele-tele seperti yang terjadi selama ini. Meskipun terdapat bukti-bukti yang memadai tentang perbuatan sangat keji yang mereka lakukan di Blou, mereka tidak mau berterus terang mengakuinya. Dengan segala cara mereka memaksa Petrus Naya Koten untuk menarik kembali keterangannya. Mereka lupa bahwa ada mata yang melihat keberadaan Petrus Naya Koten di tempat kejadian perkara pada malam kejadian perkara.

Selama empat bulan Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tolek Kumanireng, Yohanes Kusi Kumanireng alias Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng menjalani masa tahanan. Tetapi mereka tidak mau kooperatif dengan Polri yang berusaha menegakkan kebenaran dan keadilan sehubungan dengan terjadinya kasus pembunuhan tersebut. Mereka memilih kooperatif dengan oknum-oknum polisi yang bersedia membantu mereka untuk dapat lolos dari jerat hukum.

Mereka bekerja sama untuk melawan keluarga korban, untuk mengkambinghitamkan beberapa orang lain dari kelompok “jabar” di Eputobi sebagai pelaku pembunuhan tersebut. Padahal orang-orang yang mereka kambinghitamkan adalah orang-orang yang pada malam kejadian perkara menonton televisi di rumah Yosef Kehuler di Eputobi-Lewoingu. Eratnya kerja sama di antara mereka tampak pula dari penggunaan kata-kata yang sama.

Oknum-oknum polisi yang bersangkutan dengan mudah menindaklanjuti masukan-masukan dari pihak penjahat tersebut. Maka tak mengherankan pula bila dua orang dari pihak keluarga korban pun pernah menjalani pemeriksaan di luar prosedur di Polres Flores Timur. Kiranya jelas bahwa pemeriksaan yang dilakukan secara “keroyokan” itu merupakan bagian dari intimidasi yang dialamatkan kepada keluarga korban.

Demi kelancaran proses hukum atas mereka yang terlibat dalam peristiwa pembunuhan tersebut, demi pemulihan citra Polri, dan demi tegaknya kebenaran dan keadilan, Kapolres Flores Timur perlu melakukan penertiban terhadap oknum-oknum polisi yang bersangkutan. Upaya penertiban tersebut merupakan bagian dari reformasi kultural yang selama ini dicanangkan dan ditekadkan oleh Kapolri. ***