Sabtu, 04 September 2010

Selamat Jalan Mamung

 

Kabar tentang wafatnya Mamung Kornelis K. Kelen saya terima siang ini dari kampung Eputobi. Kabar duka itu membuat saya sempat menundukkan kepala seraya merenungkan arti hidup manusia di dunia ini. Dan di hadapan saya terbentang kembali hari-hari kami bersama di kampung Eputobi, di SMP Swadaya Tuakepa, lalu di Seminari San Dominggo Hokeng di Flores Timur tempo doloe. Sebagai saudara, Mamung Kornelis dan dua saudaranya serta seorang saudarinya adalah bagian dari keluarga besar kami. Dan rasa persaudaraan itu tetap hidup.

Sebagai saudara kami menggunakan kata “mamung” (saudara laki-laki) untuk saling menyapa. Kata itu menyatakan relasi kekeluargaan khas. Maka kata itu pun tak digunakan oleh sembarang orang. Di seluruh kawasan Lewoingu hanya sedikit orang yang saling menyapa dengan kata “mamung.” Di antara yang sedikit itu, almarhum termasuk yang sering menggunakannya.

Setelah tahun 1980, saya tak lagi bersua langsung dengan Mamung saya yang kini sudah jadi almarhum itu. Pada bulan Januari 1980, kami bertemu di Surabaya. Pada waktu itu, Mamung Kornelis tinggal di Madiun. Setelah mengetahui bahwa saya dan seorang saudara saya berada di Surabaya dalam perjalanan ke Jakarta, dia menyempatkan diri pergi ke Surabaya. Lalu kami diajaknya ke Madiun. Di Madiun kami menginap di rumah Pak Guru Sedu Kelen. Keesokan harinya saya kembali ke Surabaya untuk meneruskan perjalanan saya ke Jakarta.

Tiga puluh tahun setelah perjumpaan di Surabaya dan di Madiun itu, saya menerima kabar duka itu. Mamung saya itu sudah dipanggil Tuhan untuk meneruskan hidupnya di alam baka. Kepergiaannya membuat saya menelusuri kembali ceritera-ceritera masa lalu ketika kami sama-sama masih muda belia di Lewoingu dan sekitarnya. Dan saya teringat bahwa sejak dulu Mamung saya itu terkenal sebagai seseorang yang memiliki tekad kemauan yang kuat dalam usaha untuk meraih cita-citanya. Dia juga seorang humoris. Dia memiliki kecakapan dalam menjalin relasi pertemanan dengan sesamanya. Lalu dia juga terkenal sebagai salah seorang pemain sepak bola yang hebat.

Di antara orang Eputobi yang berada di perantauan, Mamung saya itu termasuk salah seorang yang memiliki pengetahuan yang cukup banyak tentang sejarah Lewoingu. Itulah landasan historis yang membuat dia menyikapi kejahatan yang terjadi di Eputobi dengan caranya sendiri. Meskipun dia pun sempat digoda untuk ikut bergabung dalam barisan orang-orang yang membela kejahatan yang terjadi di kampung Eputobi pada tahun 2007, dia tetap berusaha bergerak pada rel sejarah dan fakta-fakta yang dia peroleh dari sumber-sumber yang terpercaya. Dan dengan caranya sendiri dia berusaha membela kebenaran dan keadilan.

Kini dia sudah berjumpa dengan kebenaran dan keadilan yang selama ini dia ikut perjuangkan. Dengan pergi ke alam baka, dia mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Kini dia mengetahui persis siapa saja orang-orang yang beraksi pada malam itu di Blou, yang membuat salah seorang Mamungnya (Yoakim Gresituli Ata Maran) meninggalkan dunia ini. Di sana, di alam baka, mereka saling berjumpa sebagai saudara dari suatu keluarga.

Selamat Jalan Mamung. Sebagai orang beriman, kami percaya, bahwa Belas Kasih Bapa Kita membuka Pintu RumahNya bagimu. Kami percaya, di RumahNya Itulah Mamung Tinggal untuk selama-lamanya. ***