Minggu, 12 September 2010

Kejahatan dan Proses Pembusukan Hati Nurani

 

Setelah terjadi peristiwa pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran pada Senin malam 30 Juli 2007 dan setelah terungkap siapa saja pelakunya, orang-orang Eputobi menentukan sikap. Muncul dua konfigurasi sosial. Mereka yang merasa berutang budi terhadap Mikhael Torangama Kelen (melalui raskin, blt, dll) memilih berkubu ke kepala komplotan pembunuh berdarah dingin itu. Bersama mereka bersatu padu membela kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Bersama mereka berjuang untuk melanjutkan masa pemerintahan Mikhael Torangama Kelen yang berciri dasar korup dan despotis. Dengan gairah yang meluap-luap, mereka memeriahkan pesta yang diselenggarakan untuk merayakan dan memuliakan kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Dengan bermodalkan sedikit uang dari penyelenggara aksi, mereka pun dengan penuh gairah mengikuti beberapa aksi unjuk rasa yang dirancang untuk menuntut penghentian proses hukum atas perkara pembunuhan tersebut.

(And The Prince of Darkness has played his role in those activities. He is now sitting there on his brittle throne. Yes, his throne is likely to snap. And  it is likely to fall down any minute. He now becomes a very lonely old man who has no power anymore to defend his position. And no one can help him from his falling down. In his loneliness he sometimes looks himself in the mirror, but he does not recognize himself anymore. There also no voice from his heart to tell who he is. The Prince of Darkness is really now in the dark space. In the darkness he struggles with himself). 

Mereka yang membela kebenaran memilih berkubu ke keluarga korban. Bersama keluarga korban mereka bukan saja pernah merasakan dukacita, tetapi juga berjuang tak kenal lelah agar kebenaran dapat ditegakkan di tengah kehidupan masyarakat Eputobi-Lewoingu. Pilihan sikap semacam ini sering dicemooh oleh orang-orang jahat itu. Tetapi bagi kami kebenaran lebih penting untuk ditegakkan, ketimbang membiarkan diri dibodohi oleh orang-orang jahat itu. Dalam perjuangan menegakkan kebenaran, kelompok ini mendapat tekanan bertubi dari mereka yang membela kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Di antara anggota kelompok pembela kebenaran ini, ada yang mengalami kekerasan fisik berupa pemukulan dan pencekekan, ada pula yang dihina dengan kata-kata kotor dan kasar di muka umum, dan ada pula yang wajahnya diludahi di muka umum. Tak terhitung ancaman dan intimidasi yang pernah mereka peroleh dari orang-orang jahat itu. Tetapi berkat kendali moral yang kuat, maka pancingan-pancingan dari orang-orang jahat itu tidak ditanggapi secara kasar, padahal dalam kasus-kasus semacam itu harga diri mereka direndahkan. Bersama kami menyadari bahwa itu semua adalah risiko dari suatu perjuangan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Toh waktu akan mempermalukan setiap mereka yang selama ini menggairahkan diri mereka masing-masing untuk membela kejahatan tersebut.

Meluap-luapnya gairah mereka untuk membela kejahatan tersebut menunjukkan bahwa pembunuhan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itu berhasil pula membusukkan kepribadian dan hati nurani sejumlah orang Eputobi. Proses pembusukan itu terjadi secara sistematis dan teratur melalui serangkaian pertemuan yang digelar dari rumah ke rumah, dari desa hingga ke kota, dan sebaliknya, juga melalui mekanisme politisasi raskin dan blt, serta melalui politik pencitraan semu ketokohan si kepala komplotan penjahat Eputobi itu yang dianggap berhasil memajukan Eputobi. Bagi orang-orang jahat itu, kemajuan semu seperti yang mereka gembar-gemborkan selama ini dianggap lebih berharga ketimbang upaya-upaya nyata untuk mengungkapkan kebenaran bahwa Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannyalah yang membunuh orang yang tidak bersalah itu.

Menarik bahwa proses pembusukan tersebut pun mengenai pula orang-orang yang konon terpelajar dari kubu penjahat itu. Tidak hanya itu. Beberapa orang dari kalangan kerjubah yang berasal dari kubu tersebut pun terkena proses pembusukan yang sama. Di antara mereka ada yang cukup bergairah untuk mempromosikan kesalehan-kesalehan palsu atas nama perdamaian. Bagaimana mungkin damai bisa terwujud di tengah kehidupan masyarakat Eputobi-Lewoingu, jika hak hidup warganya tidak mendapat perlindungan yang memadai, jika perbedaan pandangan politik diselesaikan dengan jalan kekerasan fisik berupa pembunuhan? Bagaimana mungkin damai bisa terwujud di Eputobi, jika kebenaran tentang tragedi Blou terus diupayakan untuk disembunyikan, baik oleh para pelaku tragedi itu sendiri maupun oleh orang-orang yang mendukung mereka?

Apa yang terjadi di kampung Eputobi selama beberapa tahun terakhir merupakan pentas paling vulgar tentang penjungkirbalikan tatanan nilai hasil kesepakatan leluhur-leluhur Lewoingu. Untung bahwa penjungkirbalikan tatanan nilai itu hanya terjadi di kubu penjahat Eputobi. Dalam hal itu perjuangan orang-orang seperti DDK, MTK, LLK, dan reka-rekan mereka berhasil. ***